Getaran Handphone disaku bajuku terasa saat aku berdiri. Mungkin pesan telah masuk.
Benar saja. Ketika ku lihat, memang ada pesan. Pesan dari teman lamaku. Teman lama yang sudah begitu lama tak ada kabar berita.
Meskipun aku sedikit repot dengan headset yang menghalangi pandangan ku ke layar handphone, dan dorongan dari kanan kiri depan belakang. Maklum, aku sedang berada di kereta di jam-jam pulang kerja. Padat sekali. Aku tetap berusaha membuka pesan itu. Takut penting pikirku.
"Bro, apa kabar? Gue besok mau ke Bogor nih. lu ada acara gak? Ketemu yuk ada yang mau gue ceritain" temanku memang tidak lagi tinggal di bogor, sekarang dia tinggal di Surabaya. kalo tidak salah ada pekerjaan disana.
"Alhamdulillah baik. Lu gimana? Baik juga kan. Besok gue gawe pagi. Paling nyampe rumah jam setengah 8 malem. Gimana? Ketemu di rumah apa di luar aja nih". Ya, aku senin-jum'at kerja. Kebetulan temanku mengajak ketemu hari Jum'at dimana aku harus bekerja.
"kalo malem gue gak bisa lama-lama, mau langsung cabut lagi soalnya. Yah gimana dong?"
Aku tak sempat membalas pesan terakhir temanku ini. Karena aku sibuk dalam mempertahankan diri didalam kereta. Lengah sedikit dadaku bisa tersikut oleh tangan yang penuh dengan air keringat.
Sesampainya distasiun tujuanku. Aku telpon temanku.
"Halo, im" namanya ibrahim
"Iya bro, apa kabar lu?" namaku bukan bro.
"Baik, im. Lu ke bogor dari kapan emang? Maaf nih gue gawe soalnya.
" gue cuma sehari soalnya besok pagi nyampe bogor, ketemu rekan kerja, langsung free ampe sore. "
"Bentar amat, katanya mau ketemu."
"Yah, makanya itu, gue kalo malem gak bisa lama"
Aku pun berpikir, ingin sekali rasanya sudah lama tak bersua. Aku yakin, ibrahim ini bukan teman yang ada saat butuh saja. Meskipun rasanya cuma ibrahim teman yang dekat tapi tak pernah ada kabar. Walaupun aku selalu menanyakannya. Ya, mungkin ibrahim kurang ada waktu kosong karena kesibukan-kesibukannya.
"Makanya lu sok sibuk sih, pri. Hahahaha" ledek ibrahim padaku.
Iya, Namaku supri.
"Bukan gitu, im. Kalo bisa izin, pasti izin dah. Cuma kerjaan lagi banyak-banyaknya nih"
"Nanti lanjutin via chat aja yah" ujar ibrahim yang sepertinya sedang sibuk diperjalanannya.
Sesampainya dirumah aku bercerita ke istriku, kalo aku akan ketemu dengan ibrahim (teman lamaku). Kebetulan istriku juga kenal.
"Syukurlah, sepertinya kamu akan lupa waktu kalo ketemu ibrahim"
Istriku, memang tau sekali betapa hebohnya kami ketika sudah ngobrol berdua. Yah seperti "berdua aja rusuh"
Dengan begitu bahagianya aku, aku chat ibrahim
"Im, udah dimana lu? Dah brangkat belum?"
"Udah pri. Gue lagi dibandara nih. Doain selamat sampe tujuan yeh"
Tak lama sebelum aku mau mulai mengetik,
"Oia, pri. Lu tau gak yang gue pernah tanyain ke elu. Yang kecoa itu. Apa sih gunanya kecoa hidup didunia ini?"
"Lah ngapa jadi kesitu. Iya gue tau lu pernah nanya itu. Udah dapet jawabannya gitu im?"
"Udah. Gue udah nemu. Ternyata ada gunanya juga itu kecoa. Ternyata nih yah. Kecoa kan suka makan sampah atau kotoran gitu yang ngandung nitrogen. Akhirnya nanti di buang ke tanah si nitrogennya buat kelangsungan makhluk lain di bumi. Kecoa juga bisa jadi makanan hewan lain. Berguna yah. Padahal dulu gue mikirnya jelek banget sama nih makhluk. Udah bau, kotor, terbang, nemplok dimana-mana, kan serem yah. Sama kaya gue dulu. Hahahahha."
"Hahhahahahah, kenapa jadi curhat gitu? Lu niat banget ampe observasi gitu".
"yah emang iya pri. Gue dulu gitu, lu tau sendiri, gue bau, kotor, suka nemplok dimana-mana, sama cewe ini cewe itu. Hhahahah. Dosa banyak nih. Dulu mah mikirnya, menang banyak."
"Yaudah deh. Kalo besok jadi ketemu kabari lagi yah"
"Oke siap pri."
Besoknya.
"Bro, Kalau seadanya gue gak ada waktu ketemu, gue udah nitip bingkisan buat lu yah, semoga nyampe yah. Kan susah kalo dikampung mah. Hahahah"
"Okesip" singkat saja.
Sore hari dimana, aku sedang menunggu kereta, aku segera saja menanyakan ibrahim.
"Im, masih di bogor kah? Bisa ketemu kaga?"
5 menit, 20 menit, 30 menit, 1 jam. Ibrahim tak membalasnya. Aku coba telpon. Tapi tak jua diangkat.
Sesampainya dirumah aku dapat bingkisan yang diberikan oleh istriku.
Mungkin ini dari Ibrahim pikirku.
Bingkisannya ada dua, map besar dan satu kotak persegi panjang.
Betapa kagetnya aku melihat isi kotaknya.
Isinya semuanya uang. Uang selembaran berwarna merah biru yang tersusun rapih. Entah berapa jumlahnya aku bahkan tak ada niat untuk menghitungnya kala itu. Aku masih kaget.
Begitupun istriku. Aku bisa dibilang norak karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu.
Isi mapnya tak membuatku kaget, tapi lebih tepatnya bingung.
Aku membaca isi map. Yang isinya adalah surat tanah lengkap yang sah secara administrasi atas namaku. Dibelakang map itu ada tulisan yang menjawab kebingunganku.
"Supri, bro. Gue titipin ini, Uang dan Surat tanah, sebidang tanah yang gak ada apa-apanya. Gue titip di buat Pondok pesantren, Panti Asuhan, atau apapun yang bisa bantu masyarakat sekitar. Gue percaya sama lu, pri. Karena lu yang dari dulu bantu gue . saat gue jahiliyah-jahiliyahnya. Setidaknya gue sekarang bisa jadi bermanfaat seperti kecoa. Tapi inget, kalo kecoa makan yang kotor, sampah. Insya Allah gue dapet rezeki yang halal. Dan bisa bantu"
Tanpa pikir panjang, aku telpon ibrahim
Tapi tak ada yang merespon.
Lama sekali.
Dalam keadaanya yang bingung kaget, khawatir juga. Aku sampai-sampai ditenangkan istriku.
Aku istirahat, diam sejenak.
Dering berbunyi.
Aku segera angkat, tanpa melihat siapa yang menelpon.
"Assalamualaikum, selamat malam pa, ini dengan keluarganya pak ibrahim?"
"Waalaikum salam, selamat malam juga. Saya temannya pa. Ada apa yah pa?" tanyaku penasaran.
"Saya dari Rumah Sakit (,..........), pa Ibrahim sedang dirawat karena mengalami gangguan pernapasan yang cukup hebat. Dan kebetulan tadi yang telpon kesini hanya nomor bapa."
Tanpa pikir panjang aku langsung meminta alamat Rumah Sakit itu (yang tidak aku bisa sebutkan). Khawatirku memuncak. Aku bahkan lupa dengan segala yang ada disekitarku. Aku ajak istriku. Aku ingin sekali menemui ibrahim.
Diperjalanan, aku telah berpikir yang tidak-tidak. Aku berpikir bagaimana kalo ibrahim tidak lagi bisa bertahan. Aku seakan melihat nostalgia kami berdua. Ketika sering kali bertukar sepatu saat kuliah, berkejaran saat ada anjing komplek mengejar kami. Dan hal-hal bodoh lain.
Sesampainya di Rumah Sakit. Aku tertunduk ketika pandangan dokter menatapku lesu. Pikiran burukku muncul kembali. Aku tak yakin bisa bertemu dengan ibrahim yang masih bisa menatapku, memamerkan senyuman khasnya. Menjadikan tatapannya terekam di otakku.
"Maaf pa, Bapa ibrahim, sudah...."
"Cukup pa, jangan diteruskan" jawabku.
"Inalillahi wa inailaihi rojiun, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan semuanya akan kembali pada Allah" betapa aku yakin kepada takdir ini. Entah apa yang membuatku jadi (sok) tegar seperti ini. Meskipun pada akhirnya aku meneteskan air mata ketika melihat jasad (teman, sahabat, adik, rekan) berada didepan mataku.
Aku belajar banyak dari ibrahim, belajar menerima kenyataan terburuk dalam hidup. Sahabatku pergi dari dunia ini untuk selamanya.
Aku diajarkanya dari "bermanfaat seperti kecoa" sesederhana itu pikirannya. Titipannya tadinya membuatku bingung, sekarang aku akan malu jika bersedih meratapi ini. Aku akan lanjutkan titipan yang telah diamatkan kepadaku.
Setidaknya aku bisa "bermanfaat seperti kecoa" terhadap sahabatku ini dalam bentuk penghormatan terakhir jasadnya.
Doaku slalu tersalurkan untukmu Ibrahim, sahabatku.
Terkadang ibrahim benar. Meskipun ia mengaku dirinya seperti kecoa, yang bau, kotor (anggapanya penuh dosa) tapi Kecoa tetap bermanfaat dalam kelangsungan hidup di bumi. Meskipun terkadang harus jadi makanan makhluk lain. Ibrahim sudah menyamakan dirinya dengan kecoa. Aku sepertinya ingin juga seperti itu.
Ya, setidaknya BERMANFAAT SEPERTI KECOA.
Comments
Post a Comment