KTP adalah Kartu Tanda Penduduk yang harus dimiliki oleh Warga Negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun. Semenjak (kalau tidak salah) Tahun 2012, dikeluarkanlah kebijakan untuk pembuatan KTP dalam bentuk elektronik, dengan bentuk dan bahan seperti kartu ATM. Data kependudukan disimpan didalam KTP tersebut dengan bantuan komputer dan teknologi yang memadai, hal ini dilakukan untuk mengurangi KTP ganda yang sering ditemukan di KTP keluaran lama yaitu KTP dengan bahan kertas, yang dilaminating untuk mencegah kerusakan pada KTP tersebut. KTP elektronik ini lebih dikenal sebagai e-KTP atau KTP-el.
Ini adalah Pengalaman pribadi saat membuat KTP-el atau lebih dikenal e-KTP.
Pada tahun 2012, saya pernah melakukan perekaman pada pembuatan e-KTP yaitu berupa, Tanda tangan, pemotretan, dan Sidik jari. Beberapa lama setelah perekaman itu (Kurang lebih 1 tahun) E-KTP pun jadi, dan pembuatannya tidak memungut biaya sepeser pun alias GRATIS. Tapi alangkah tidak beruntungnya saya, data yang ada di e-KTP saya ternyata ada kesalahan, kesalahan Nama.
Nama yang terdata di e-KTP saya adalah LUKMAN AZIZ, sedangkan seharusnya Nama saya yang sesuai dengan Akte Kelahiran adalah LUKMAN AJIZ. Sontak saya pun tak tinggal diam, segeralah saya "ingin" sekali mengubahnya menjadi benar (takut disangka pemalsuan identitas). Beberapa minggu kemudian, Orang tua saya (Bapake) membawa e-KTP saya ke Kantor Desa. Niat untuk membenarkan data, Eh yang didapat ternyata "dianjurkan" untuk membuat KTP Lama (dengan bahan kertas) dengan alasan Blanko Kartunya sedang Kosong, atau lebih tepatnya dipergunakan untuk para pembuat e-KTP yang belum melakukan perekaman. Hasilnya, dari tahun 2012 sampai sekarang (Maret 2016) saya masih menggunakan KTP Lama (Jadul).
Bulan November 2015, Saya kembali mengajukan Penggantian KTP (Perubahan e-KTP), saya membuat Surat Pengantar dari RT, Pengantar Dari Kantor Desa, serta data-data pelengkap seperti Kartu Keluarga, Akte kelahiran serta Ijazah terakhir (dalam rangka memastikan Nama Asli saya). Saat itu pula saya menuju Kantor Kecamatan (Mohon maaf tidak saya sebutkan), dengan niat untuk mencetak kembali e-KTP. Lama mengantri, akhirnya giliran saya. Saya jelaskan maksud dan tujuan saya secara jelas kepada petugas. setelah itu saya, disuruh menunggu untuk didata terlebih dahulu (saya nggak paham) maksud dari data ini. Tak lama, petugas menghampiri saya yang sedang duduk dikursi yang disediakan untuk menunggu, Petugas ini, lebih tepatnya "Oknum petugas" membisikkan ke saya, "Bisa saya urus, kalau mau cepet yah paling 3 hari", Saya sontak menjawab, "Oh iya pak, boleh kalau gitu", "Oknum" itu kembali menjelaskan, "yah bisa, kira-kira 150rb (Rp.150.000) biaya administrasinya", Saat itu saya kaget dan kurang percaya dengan apa yang dibicarakan "oknum" itu. Becanda dalam benak saya. Tanpa menggubriskan masalah uang, saya langsung tanya, "pak, emang normalnya berapa lama?". Oknum itu menjawab lagi, " kalau normal paling 5 bulanlah, bisa gratis".
dengan berat hati saya kemudian mengurungkan niat saya untuk membuat e- KTP, dalam hal keuangan pun saya merasa tak sanggup.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, saya mulai mencari informasi tentang e-KTP, ternyata jelas-jelas tak ada pungutan biaya Alias GRATIS. Dan Ada ternyata Teman yang pernah mengalami hal yang sama seperti yang terjadi pada saya. Dia (Teman Saya) waktu itu mempunyai inisiatif meminta "Surat Rekomendasi" dari Kecamatan untuk mencetak e-KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dan Dia(teman saya) mencetak e-KTP tanpa biaya (GRATIS) di Disdukcapil dengan proses kurang lebih 3 hari, tidak seperti di Kecamatan yang menjanjikan 3 hari dengan biaya 150ribu rupiah dan 5 bulan untuk yang gratis. SULIT di MENGERTI.
Nah, Hari ini, Senin 21 Maret 2016.
Dengan modal pengalaman teman saya tersebut, saya kembali menuju ke Kantor Kecamatan dengan Data lengkap. Seperti biasa, saya menunggu, saya datang kira-kira Pukul 13.25 WIB. saya menuju loket Informasi pada Pukul 13.30 WIB, dan menjelaskan bahwa saya ingin meminta pengesahan dari Kepala Kecamatan dan meminta "Surat Rekomendasi" dari kecamatan untuk mencetak e-KTP di Disdukcapil. Saya hanya diberikan "Surat Keterangan" yang isinya pernah melakukan perekaman e-KTP. dan kebetulan lagi yang memberinya adalah "Oknum" yang dulu di November 2015. "Oknum" menyuruh saya menunggu untuk tanda tangan dari kepala Kecamatan. Kurang lebih 40 menit saya tunggu tidak datang juga. Saya tanya ke petugas lain, hanya dibilang "tunggu aja" dan akhirnya "Oknum" datang, awal dia menanyakan maksud saya untuk mencetak e-KTP di Dukcapil untuk apa?, saya kemudian menjawab, "Biar sekalian aja pak, ada yang mau diuruskan kesana". "Oknum" kembali keruangan belakang, dan menyuruh saya menunggu lagi.
Saat menunggu, saya sempat melihat "Oknum-Oknum" yang notabene petugas kecamatan itu, sempat ada transaksi dengan bayaran dengan bermacam-macam nominal yaitu Rp.150.000, Rp. 50.000. Entah ini uang untuk apa? Biaya Administrasi Pembuatan Surat Kependudukan dan sebagainya? atau hanya uang "Terima Kasih" dari para pemohon pembuat e-KTP?
saya pernah lihat di website Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
Ternyata ada salah satu artikel tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan
Ada Poin Ke Tujuh yang berbunyi :
Tujuh, Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Tidak Dipungut Biaya (Gratis)
Larangan untuk tidak dipungut biaya semula hanya untuk penerbitan KTP-el, diubah menjadi untuk semua dokumen kependudukan seperti KK, KTP-el, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Kematian, Akta Perceraian, Akta Pengakuan Anak, dan lain-lain (Pasal 79A UU No. 24 Tahun 2013).
Jelas, terlihat bahwa di website tersebut dinyatakan bahwa "Tidak Dipungut Biaya(Gratis)". Apa yang dilakukan Oknum-Oknum itu jelas-jelas melanggar Hukum dan Ilegal.
Kembali keurusan saya, Setelah menunggu cukup lama, "oknum" kembali dengan seorang ibu-ibu dengan tampilan seragam, sepertinya atasannya.
Saya kembali ditanyakan tentang tujuan saya, kenapa ada tujuan mencetak di dukcapil?
beliau menjelaskan, "kalau semua ingin mencetak e-KTP di dukcapil berarti berapa kecamatan yang harus ditampung disana?, makanya adanya kecamatan ini untuk membantu proses itu?."
lanjutnya, "emang gak boleh"
saat saya menanyakan, "Kira-kira ada biaya administrasi gak bu?"
saya hanya di marah-marahi, beliau bilang, " kalau kamu bilang "Disini" Bayar, emang kalau disana(Dukcapil) gak bayar? kamu nganggap kita minta bayaran? arah pembicaraan kamu kesana kan? yang sopan dong, bukannya kamu Mahasiswa (sambil nunjuk data yang saya bawa)"
"bukan gitu, kan saya cuma nanya" saya jawab seaadanya.
"kalaupun ada keperluan mendadak seperti untuk ke Rumah Sakit atau pembuatan BPJS Kesehatan? baru bisa (cetak di dukcapil maksudnya)" jelas ibu tersebut.
rasa males sebenarnya udah muncul ketika dia( ibu tersebut) marah-marah, dalam hati, si Ibu sangat sensitif jika berhubungan dengan "Biaya Administrasi".
Akhirnya data-data saya disimpan disana dengan saya disuruh oleh ibu tersebut untuk kembali lagi dala 2 minggu kedepan.
Dari pengalaman ini, saya tidak tahu, ibu tersebut sebagai siapa? posisinya apa di Kecamatan?
tapi apakah dengan ia marah-marah mengenai biaya administrasi, ia tidak tahu ada praktik tentang biaya tersebut di lingkungannya (kecamatan)?.
dari kalimat saat ia marah-marah pun sempat terucap "kalau kamu bilang "Disini" Bayar, emang kalau disana(Dukcapil) gak bayar?" dengan kalimat ini, setidaknya PASTI si Ibu tau dong adanya praktik ini. BUKAN BEGITU?
Dan kalaupun saya tahu ada oknum-oknum iseng "mencari" uang ini, Saya harus lapor ke siapa?
ADA YANG BISA JAWAB.
Ke Kepolisian? Ke Kepala Kecamatan? Ke Bupati/Walikota? Ke Gubernur? Ke Kementerian Dalam Negeri RI?, Ke Presiden?
Saya siapa?, sampai bisa membuat mereka mendengarkan apa yang saya rasakan dan alami?.
Selain itu, kalaupun saya bisa membuat Mereka mendengar, tentu nanti adanya "pencarian Bukti", bisa saja saya dianggap "Memfitnah" Oknum-oknum tersebut.
Lalu, Apa tujuan saya menulis ini?
Buat terkenal? tentu tidak. Jika saya memilih untuk terkenal, bisa saja saya rekam, saat saya berbincang dengan oknum-oknum tersebut, entah dari audio atau visualnya. tinggal upload di youtube, facebook, twitter, dsb. Alhasil terkenallah saya sebagai "Pembela Kebenaran".
tapi saya tak seberani itu.
Jadi, saya kira, lebih bijak adalah dengan bercerita seperti ini.
Jadi, saya kira, lebih bijak adalah dengan bercerita seperti ini.
Saya bersikap diam, tapi bersikap menceritakan apa yang saya alami. saya tidak menyebutkan Nama-Nama "Oknum-Oknum" meskipun saya tahu. Saya tak menyebutkan tempat dan lokasi, karena saya anggap itu tak perlu.
Perlu diingat juga, Ini tidak general, kalau semua petugas Kecamatan diseluruh Indonesia melakukan hal seperti yang saya ceritakan. karena saya yakin banyak diantara mereka, bahkan sebagian besar, bekerja untuk melayani masyarakat khususnya dalam pengurusan administrasi dokumen kependudukan.
Dan jika ada kata-kata yang membuat kesan "Cerita" ini dianggap dibuat-buat. Saya PASTIKAN kepada anda para pembaca saya.
Kenyataanya adalah Disekitar kita, proses
Pembuatan KTP-el (KTP Elektronik) "Masih" ada yang TIDAK GRATIS
Comments
Post a Comment